Rabu, 12 Oktober 2011

sejarah nama kerinci


Nama ‘Kerinci’ berasal dari bahasa Tamil “Kurinci”. Tanah Tamil dapat dibagi menjadi empat kawasan yang dinamakan menurut bunga yang khas untuk masing-masing daerah. Bunga yang khas untuk daerah pegunungan ialah bunga Kurinci (Latin Strobilanthus. Dengan demikian Kurinci juga berarti ‘kawasan pegunungan’.
Di zaman dahulu Sumatra dikenal dengan istilah Swarnadwipa atau Swarnabhumi (tanah atau pulau emas). Kala itu Kerinci, Lebong dan Minangkabau menjadi wilayah penghasil emas utama di Indonesia (walaupun kebanyakan sumber emas terdapat di luar Kabupaten Kerinci di daerah Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin). Di daerah Kerinci banyak ditemukan batu-batuan Megalitik dari zaman Perunggu (Bronze Age) dengan pengaruh Budha termasuk keramik Tiongkok. Hal ini menunjukkan wilayah ini telah banyak berhubungan dengan dunia luar.
Awalnya ‘Kerinci’ adalah nama sebuah gunung dan danau (tasik), tetapi kemudian wilayah yang berada di sekitarnya disebut dengan nama yang sama. Dengan begitu daerahnya disebut sebagai Kerinci (“Kurinchai” atau “Kunchai” atau “Kinchai” dalam bahasa setempat), dan penduduknya pun disebut sebagai orang Kerinci.
 
Sejarah Kerinci
Menurut Tambo Alam Minangkabau, Daerah Rantau Pesisir Barat (Pasisie Barek) pada masa Kerajaan Alam Minangkabau meliputi wilayah-wilayah sepanjang pesisir barat Sumatra bahagian tengah mulai dari Sikilang Air Bangis, Tiku Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Muko-muko (Bengkulu) dan Kerinci. Dengan demikian Kerinci merupakan daerah Minangkabau.
Pada waktu Indonesia merdeka, Sumatera bahagian tengah mulai dipecah menjadi 3 provinsi:
1. Sumatera Barat (meliputi daerah Minangkabau)
2. Riau (meliputi wilayah kesultanan Siak, Pelalawan,Rokan,Indragiri, Riau-Lingga ditambah Rantau Minangkabau Kampar dan Kuantan)
3. Jambi (meliputi bekas wilayah kesultanan Jambi ditambah Rantau Minangkabau Kerinci)
Dengan demikian sebenarnya Orang Kerinci hidup dengan budaya Minangkabau namun menjadi orang Jambi.
 
Letak Kerinci
Kerinci berada di ujung barat Provinsi Jambi, berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat (Minangkabau) di sebagian barat dan utara. Di selatan mereka berbatasan dengan Provinsi Bengkulu.
Daerah Kerinci ditetapkan sebagai sebuah Kabupaten sejak awal berdirinya Provinsi Jambi, dengan pusat pemerintahan di Sungai Penuh. Daerah Kerinci memiliki luas 4.200 km2 terdiri atas 11 kecamatan (yang merupakan rangkaian kampung atau pemukimam). Statistik tahun 1996 menunjukkan populasi suku Kerinci sekitar 300.000 jiwa.
petab
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kerinci merupakan kawasan yang telah memiliki kekuasaan politik tersendiri.Sebelum Belanda masuk Kerinci mencatat tiga fase sejarahnya yaitu: Periode Kerajaan Manjuto atau Kerajaan Pamuncak Nan Tigo Kaum, Periode Depati, dan Periode Depati IV Alam Kerinci. Kerajaan Manjuto, sebuah kerajaan yang berada di antara Kerajaaan Minangkabau dan Kerajaan Jambi, beribukotakan di Pulau Sangkar. Berikutnya, pada dua periode Depati, Pulau Sangkar memainkan peran sentral sebagai salah satu dari empat pusat kekuasaan di Kerinci (Rasyid Yakin, hal. 4 -14).
Tetapi semenjak Belanda mulai menduduki Kerinci pada 1914, peran sentral Pulau Sangkar secara politik pemerintahan mulai mengalami penyusutan. Ketika Belanda menetapkan Kerinci sebagai sebuah afdelling dalam kekuasaaan Karesidenan Jambi (1904) maupun di bawah Karesidenan Sumatera Barat (1921), dan ketika Kerinci menjadi sebuah kabupaten sendiri dalam wilayah Propinsi Jambi (pada 1958), Pulau Sangkar hanyalah sebuah ibukota kemendapoan (sebuah unit pemerintahan setingkat di bawah kecamatan dan setingkat di atas desa).

Budaya Kerinci
Budaya Kerinci sangat khas. Tari-tariannya adat merupakan campuran Minang dan Kerinci serta Melayu. Misalnya, Tari Joged Sitinjau Laut. Lagu-lagu Kerinci juga terkenal unik. Pakaian adatnya juga sangat indah. Rumah suku Kerinci disebut “Larik” karena terdiri dari beberapa deretan rumah petak yang bersambung-sambung. Di Jambi, Kerinci adalah satu-satunya wilayah yang menganut adat Perpatih Minangkabau (Matrilineal).

Bahasa Kerinci
Bahasa Kerinci termasuk salah satu anak cabang bahasa Austronesia yang dituturkan dengan dialek Kerinci. Bagi masyarakat bagian pesisir barat Minangkabau, Bahasa Kerinci tidak begitu asing, namun menjadi agak aneh bagi orang daerah lain di Jambi yang condong ke Melayu Palembang dan Melayu Riau. Salah satu yang khas dari dialek Kerinci di antaranya adalah melafalkan ‘i’ menjadi ‘ai’ misal: ‘Orang Kerinci pergi ke Jambi’ diucapkan ‘Uhang Kinchai lalau ka Jamboi’, atau melafalkan ‘a’ menjadi ‘ea’ atau ‘oi’ misal : “bila” menjadi “bilea”, “atas menjadi “atoih”, “Tadi menjadi “tadoih”.
Ada lebih dari 30 dialek bahasa yang berbeda di tiap-tiap desa di daerah Kerinci. Seperti pengucapan ‘Anda’, di Desa Lempur (Kec. Gunung Raya) diucapakan dengan ‘Kaya’ sedangkan di Kec. Sungai Penuh diucapakan dengan ‘Kayo’. Perbedaan dialek ini juga ditandai dengan dengan perbedaan budaya yang ada di masing-masing desa di Kerinci.
Sejarah Kerinci (Sekepal Tanah Surga Serambi Madinah)
Jumat, Oktober 07, 2011 | Author: Anack Rantau
Berikut Penulis memberikan sebuah bacaan yang patut kita baca,,, sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan kita akan sejarah Kerinci. Artikel ini penulis dapatkan dari Sahabat Andalas, Semoga bermamfaat...

Klik disini :Sahabat Andalas | media sharing ilmu dan kebajikan: Sejarah Kerinci (Sekepal Tanah Surga Serambi Madinah)
Sakti Alam Kerinci
Jumat, Oktober 07, 2011 | Author: Anack Rantau

Begitulah, konon, Kerinci adalah sekepal tanah surga yang dilempar oleh Tuhan ke bumi. Karena itu, Kerinci terkenal sebagai kabupaten paling elok di Provinsi Jambi.
Seperti namanya, kata kerinci berasal dari bahasa Tamil: Kurinji, yaitu nama bunga kurinji (Strobilanthes kunthiana) yang tumbuh di India selatan di ketinggian di atas 1.800 meter di atas permukaan laut.
Tak cuma danau dan gunung yang menawarkan kemolekan, di bumi Kerinci juga terdapat berbagai peninggalan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Oleh sebab itu, tak heran jika Malaysia mengincar warisan budaya Kerinci untuk dibawa ke Negeri Jiran itu sebagai cermin masa lalu bangsa Malaysia yang masih serumpun dengan orang Kerinci, yakni suku Melayu.
Menyebut nama Kerinci, yang melintas di ingatan adalah gunung dan tasik (danau) yang sama-sama menggunakan nama Kerinci. Membayangkan keduanya, yang muncul adalah keindahan.
Gunung Kerinci (juga dieja "Kerintji", dan dikenal sebagai Gunung Gadang, Berapi Kurinci, Kerinchi, Korinci, atau Puncak Indrapura) adalah gunung tertinggi di Sumatera (3.805 di atas permukaan laut), dan puncak tertinggi di Indonesia di luar Papua. Gunung Kerinci terletak di Pegunungan Bukit Barisan, dekat pantai barat, dan terletak sekitar 130 kilometer sebelah selatan Padang. Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat dan merupakan habitat harimau sumatera dan badak sumatera. Kerinci masih aktif dan terakhir kali meletus pada 2009.
Sementara Danau Kerinci adalah sebuah danau yang memiliki luas 4.200 hektar dengan kedalaman 110 meter dan terletak di ketinggian 783 meter di atas permukaan laut. Danau ini menyimpan banyak jenis ikan. Ikan semah merupakan jenis yang paling digemari dan merupakan ikan endemik. Danau Kerinci terletak di dua kecamatan, yaitu Danau Kerinci dan Keliling Danau.
Terdapat beberapa lokasi yang menarik di beberapa desa di sekitar Danau Kerinci, yaitu Daerah Pesanggarahan di mana kita bisa melihat pemandangan Danau Kerinci dari atas, Tanjung Hatta adalah tempat Bung Hatta menikmati panorama Danau Kerinci dan menanam pohon di sana, Desa Seleman terdapat Rumah Laheik yang merupakan rumah khas kerinci, di Desa Pulau Tengah terdapat Dolmen Batu Raja dan Masjid Keramat Pulau Tengah, serta di sekitar Danau Kerinci terdapat sejumlah batu berukir yang diduga peninggalan zaman megalit.
Tak cuma panorama alam, Kerinci juga memiliki potensi nilai seni dan budaya cukup besar dengan keragaman yang sangat tinggi. Potensi seni yang berkembang di daerah ini di antaranya  seni musik daerah, nyanyian-nyanyian daerah, tarian daerah, kesenian bernuansa islami, dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya. Eksistensi kesenian daerah dimungkinkan oleh keberadaan kelompok-kelompok seni daerah yang tersebar di sejumlah daerah pedesaan yang meliputi seni teater sebanyak 28 buah, seni tari sebanyak 65 buah, seni musik sebanyak 52 buah, seni musik kasidah/rebana sebanyak 48 buah, dan wayang sebanyak 9 buah.
Pertunjukan kesenian daerah umumnya dikaitkan langsung dengan acara-acara serimonial seperti acara pernikahan, menyambut kelahiran seorang bayi, peresmian rumah tempat tinggal, acara sunatan anak laki-laki, atau bentuk acara lainnya.
Selain kesenian daerah, Kabupaten Kerinci juga memiliki potensi budaya daerah yang sangat besar dan bernilai luhur karena tumbuh secara alami dari akar budaya masyarakat secara turun temurun hingga ratusan tahun. Hingga saat ini, masyarakat masih memegang teguh nilai-nilai budaya daerah baik dalam pelaksanaan berbagai acara adat maupun acara serimonial serta penyelesaian berbagai persoalan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut harta benda atau perbuatan kriminal dan asusila. Beberapa sko Kerinci sangat khas dan langka, tidak ditemukan ada di tempat lain, seperti halnya naskah Melayu tertua berupa kita undang-undang di Desa Tanjung Tanah yang merupakan warisan dari raja Melayu pra-Islam, yakni Adityawarman.
Lalu beberapa bentuk budaya lainnya, seperti seni bersenandung Tale, tradisi tutur Kunoun dan Kba, berbagai seni pertunjukan tradisional seperti tarian, teater, dan atraksi warisan budaya megalitik seperti tari asek, tari rangguk, marcok. Begitu juga dengan warisan sastra berupa mantra, pantun, seloko, penno, tambo, dan lain sebagainya.
Kesemua itu tidak ditemukan lagi di daerah lain di Provinsi Jambi. Masyarakat Kerinci malah harus berbangga karena telah mampu merawat dan melastarikan keberadaannya hingga jadi warisan budaya yang luhur dan abadi hingga kini.

Suku Kerinci
Suku Kerinci sebagaimana juga halnya dengan suku-suku lain di Sumatera termasuk ras Mongoloid Selatan berbahasa Austronesia. Berdasarkan bahasa dan adat istiadat suku Kerinci termasuk dalam kategori Melayu dan paling dekat dengan Minangkabau dan Melayu Jambi. Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antarsatu tempat dengan tempat lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Untuk berbicara dengan pendatang biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi).
Sebagian penulis, seperti Van Vollenhoven, memasukkan Kerinci ke dalam wilayah adat (adatrechtskring) Sumatera Selatan, sedangkan yang lainnya menganggap Kerinci sebagai wilayah rantau Minangkabau.
Suku Kerinci merupakan masyarakat matrilineal. Sebagaimana diketahui dari Naskah Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua yang ditemukan di Kerinci, pada abad ke-14 Kerinci menjadi bagian dari kerajaan Malayu dengan Dharmasraya sebagai ibu kota. Setelah Adityawarman menjadi maharaja, ibu kota dipindahkan ke Saruaso dekat Pagaruyung di Tanah Datar.
Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antarsatu tempat dengan tempat lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci. Untuk berbicara dengan pendatang, biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi).

Upacara tradisi
Salah satu tradisi yang masih dipertahankan dalam berbagai suku bangsa adalah tradisi pelaksanaan pesta adat siap panen. Hampir setiap daerah masih melaksanakannya, seperti upacara adat fuaton di Nusa Tenggara Timur, upacara adat aruh mahannyari pada suku Dayak, upacara penolak bala sebagai rasa syukur setelah berhasil panen di Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya. Tradisi-tradisi ini di maksud untuk mensyukuri hasil panen yang telah didapat oleh masyarakat, sekaligus memohon berkah agar mereka mendapat hasil yang lebih baik pada musim panen mendatang.
Begitu juga halnya yang terjadi pada masyarakat yang ada di Provinsi Jambi, yakni di Kabupaten Kerinci. Mereka dikenal sebagai orang Melayu Tua (Zakaria, 1985:15). Orang Melayu Tua tersebut masih mengenal bentuk-bentuk upacara atau pesta adat siap panen yang lebih dikenal dengan istilah kenduri sko. Kenduri sko merupakan upacara adat yang terbesar di daerah Kerinci dan termasuk kedalam upacara adat Titian Teras Bertangga Batu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Daud (1991:32) bahwa upacara adat di Kerinci dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yang disebut dengan: Upacara Adat Titian Teras Bertangga Batu; Upacara Adat Cupak Gantang Kerja Kerapat; Upacara Adat Tumbuh-tumbuh Roman-roman.
Sebagaimana tradisi-tradisi dalam upacara adat di setiap masyarakat, upacara kenduri sko di Kerinci memiliki arti penting bagi masyarakat setempat. Upacara kenduri sko merupakan upacara puncak kebudayaan masyarakat Kerinci.
Dengan kata lain dapat diartikan sebagai suatu perhelatan tradisional masyarakat Kerinci dengan maksud dan tujuan tertentu. Upacara kenduri sko hanya dilakukan pada desa persekutuan adat atau masyarakat adat dari dusun asal desa-desa yang memiliki sejarah tetua adat depati ninik mamak dan juga memiliki benda-benda pusaka.
Kenduri sko merupakan upacara adat terbesar yang ada di Kerinci dan mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat. Di dalam upacara tersebut terdapat acara penurunan benda-benda pusaka nenek moyang, serta pemberian gelar adat kepada pemangku-pemangku adat yang baru yang akan memimpin adat desa tersebut. Dengan demikian, upacara kenduri sko sangat penting sekali bagi orang Melayu Tua yang ada di Kabupaten Kerinci, khususnya Desa Keluru. (Berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar